Senin, 22 November 2010


Jujur, belum pernah gue menonton film dokudrama yang membuat gue sangat ingin tahu tentang adegan selanjutnya, dan bertanya-tanya sampai akhirnya terpuaskan dengan eksekusi klimaks yang brilian di penghujung film. rasanya seperti menonton kisah Benjamin Button, tapi dengan gaya Fight Club dimana setiap fakta diberikan sedikit demi sedikit sampai diberikan kunci permasalahan di akhir film. apalagi dengan cara penyampaian yang dikemas secara menarik, dengan alur yang tidak biasa yang membuat penonton tidak merasa bosan dan selalu menimbulkan pertanyaan baru, yang kemudian dijawab di adegan selanjutnya.
salah satu kekuatan utama pada film drama adalah dialog. lalu bagaimana cara agar dialog antar karakter yang ditampilkan di layar tidak terkesan membosankan? menurut film tentang mahasiswa Harvard yang jenius tapi nyentrik ini, dengungkan saja musik keras-keras untuk percakapan yang penting atau berikan dialog-dialog cerdas dengan kecepatan tinggi. sungguh, empat menit pertama di awal film yang menggambarkan adu pendapat antar dua karakter mengingatkan gue akan adegan awal penuh tensi pada Inglorious Basterds, tapi yang ini disajikan dengan tempo tinggi. penasaran bukan ? ingin tahu lebih byk mengenai film social network ini . saksikan d bioskop kesayangan anda !

ijah pemulung sampah



Sebut saja namanya Ijah. Ia tengah sibuk dengan tong sampah yang bertengger di depan restoran steak daerah bagian Selatan Jakarta. Dengan asiknya ia kemasi sampah-sampah yang meng-onggog, tanpa perduli bahwa yang dia kemasi itu adalah sampah sisa buangan dari setiap orang. Dan seakan tak sadar sampah-sampah itu adalah kotor, kuman penyakit.

Ijah bisa dikatakan ber"profesi" sebagai pemulung, yah pemulung sampah. Eksistensinya begitu membuat miris hati untuk melihatnya. Bayangkan sampah harus ia gerogoti, untuk bertahan hidup di tengah-tengah egoisnya kota, Jakarta.

Apa yang ada di fikiran Ijah, sampai-sampai ia harus bertahan hidup dengan bergelut di dalam dunia per'sampah'an. Apa tidak ada cara lain atau profesi lain yang bisa di geluti Ijah sebagai mata pencaharian yang bisa dijadikannya untuk sarana bertahan hidup? Sekilas batin ini bertanya.

Yeah...sebagai manusia kita memiliki jalan hidup masing-masing, tergantung pilihan kita akan dibawa kemana nasib lahiriah kita sebagai mahluk sempurna ciptaan-Nya.

Pertanyaan selanjutnya, apakah Ijah lalai mengarahkan jalan hidupnya, sehingga harus berprofesi sebagai pemulung?. Pertanyaan ini hanya Ijah yang berkompeten menjawabnya, kita tidak bisa tiba-tiba menyimpulkan apakah Ijah lalai atau tidak pada hidupnya.

Yang pasti, ada banyak Ijah-Ijah lain yang bisa kita dapati eksistensinya. Dan kehadiran mereka adalah sebagai kaca akan jiwa kemanusiaan kita. Apakah kita mau berleha-leha menapaki masa depan kita, atau sebaliknya. Dan pastinya Ijah membutuhkan kemanusiawian kita semua.